Selasa, September 01, 2015

Yang Kudapat dari SELINGKUH


Selama sepuluh tahun perkawinan ini, aku telah menikmati nyaris setiap kesenangan yang dimiliki seorang wanita, dan harus menghadapi hal-hal yang tidak layak kudapatkan. 

Namun ketika aku menoleh ke belakang, hanya ada sedikit momen, biasanya sangat singkat, ketika aku menemukan tiruan samar dari apa yang kubayangkan sebagai kasih sejati: kelahiran anak-anakku, ketika aku duduk bergenggaman tangan bersama suamiku. 
Namun sedikit momen inilah yang memberi alasan bagi keberadaanku, karena mereka memberiku kekuatan untuk terus melangkah dan membawa kebahagiaan dalam hari-hariku, tak peduli seberapa sering aku mendukakan mereka.

Post Tenebras Lux". Setelah gelap, terang!


***

Aku perempuan beruntung. Memiliki suami yang penuh cinta dan anak-anak yang menyenangkan.

Tapi kini aku bertanya pada diriku: hanya segini sajakah kehidupanku?


Aku terbangun di pagi hari, berbaring menatap langit-langit, dan bertanya-tanya “apa yang terjadi denganku?” Aku memikirkan perkawinanku, dimana perasaan cemburu tidak mengambil peran. 

Tapi kita, para wanita, mempunyai indera keenam. Mungkin suamiku sudah menemukan orang lain dan tanpa sadar aku merespon hal itu. Meski begitu aku sama sekali tak punya alasan untuk mencurigainya. 
Mungkinkah dari semua laki-laki di dunia, aku telah menikahi satu-satunya pria yang benar-benar sempurna? 
Dia tidak minum minuman keras atau keluar di malam hari, dan dia tidak pernah nongkrong seharian bersama teman-temannya. Keluarga adalah seluruh kehidupannya. 

Ini bakal jadi mimpi indah kalau bukan saja mimpi buruk. Karena aku harus balas bersikap serupa.

Ketika kita mencintai seseorang, kita tidak puas hanya dengan mengenal jiwa orang itu – kita juga ingin memahami tubuhnya.
Apakah itu perlu?
Aku tidak tahu, tetapi instinglah yang mendorongnya. Tak ada yang mengalahkan saat-saat pengungkapan ketika rasa malu kalah dari keberanian. 

Lalu datanglah perkawinan. Kita mencoba memelihara perilaku-perilaku yang sama, kadang-kadang kita berhasil, sampai tiba-tiba kita tersadar segala sesuatu telah berubah.

Sampai anak pertama lahir, seks mulai sekarang, hanya dilakukan pada malam hari dan lebih disukai tepat sebelum tidur. Seolah-olah itu kewajiban, kedua pihak menerima tanpa mempertanyakan apakah yang lain sedang menginginkannya. 
Jika seks dilewatkan, perasaan curiga bangkit, jadi sebaiknya ritual tetap dilakukan. Jika seks tidak bagus, jangan mengatakan apa-apa, karena besok mungkin akan lebih baik. 
Bagaimanapun, kita sudah menikah. Ada seluruh kehidupan terbentang di hadapan kita.

Tidak ada hal baru untuk ditemukan, dan kita mencoba mendapatkan sebanyak mungkin kesenangan dari hal-hal yang sama. Ini seperti makan cokelat setiap hari, tanpa mengubah merek atau mencoba rasa-rasa baru..
Ini bukanlah pengorbanan, tetapi tidak adakah hal lain? 

Maka hari-hari pun berlalu. Sampai pada suatu hari ketika salah satu pihak tersadar mereka perlu beristirahat dari rutinitas tersebut.

Sepertinya aku mengalami depresi seperti yang temanku katakan: “Apatis. Berpura-pura bahagia, berpura-pura sedih, berpura-pura orgasme, berpura-pura bersenang-senang, berpura-pura tidurmu nyenyak, berpura-pura kau hidup.
Sampai akhirnya kau tiba di suatu titik di mana kau mencapai garis imajiner dan tersadar jika kau melewatinya, kau tak dapat kembali lagi. 
Kemudian kau berhenti mengeluh, karena mengeluh berarti kau setidaknya masih bergumul dengan sesuatu. Kau menerima kondisi ini dan mencoba menyembunyikan dari semua orang. Dan itu sulit”

Apakah semua orang seperti ini? Seperti aku.
Tidak merasa baik juga tidak merasa buruk?



***

Lalu suatu hari aku berjumpa mantan kekasihku. 

Pertama kali bertemu aku sudah melanggar peraturan dan dunia tidak kiamat.
Sudah lama sekali aku tidak merasa sebahagia ini. Dan, Ia mengajak bertemu kembali.

Pertemuan kedua. Kami makan siang bersama. 
Tiba-tiba ia bertanya: “Apakah kau bahagia?”

Apa??

Pertanyaan yang mengejutkan.

“Ada sesuatu di matamu, kesedihan yang tak dapat kupahami dalam diri seorang wanita cantik seperti kau, yang memiliki suami yang baik dan pekerjaan yang bagus. Rasanya seolah melihat pantulan mataku sendiri. Kutanyakan sekali lagi: Apakah kau bahagia?”  lanjutnya.

Pada hari itu aku jatuh cinta lagi padanya, pada mantan kekasihku!
Ia bertanya “jadi kapan kita akan bertemu lagi?”

Hidup kembali menyenangkan, sikap apatisku yang sebelumnya, kini digantikan rasa takut. 
Betapa indahnya merasa takut melewatkan sebuah kesempatan!

Pertemuan ketiga, kami bertemu di taman. Sekalian aku ada tugas kantor yang ternyata berhubungan dengannya.
Perkataannya kali ini kembali mengejutkanku  “Kurasa kau harus bertanya mengapa aku ingin bertemu lagi denganmu?”

Aku memikirkan jiwa-jiwa yang tersiksa saling mengenali satu sama lain dan terseret bersama untuk menakut-nakuti jiwa yang lain. 

Dia bicara lagi “Aku merasakan hal yang sama...
Ketika aku menjumpai seseorang seperti kau, aku mencoba mencari tahu bagaimana mereka menghadapi masalah itu. Aku membutuhkan bantuan.”

Jadi itulah masalahnya. Tidak ada affair romantis yang memesona. Dia hanya menginginkan kelompok dukungan. 

Aku bangkit berdiri. Kukatakan aku sebenarnya sangat bahagia dan bahwa dia harus menemui psikiater. Dan banyak kata-kata lain yang tak dapat dibendung keluar dari mulutku. 
Lalu tanpa berpikir aku menciumnya lama sekali...

Dan mata kami bertemu dalam-dalam, disana ada hal yang sama denganku. Kesedihan. 

Setelah hari itu, Aku kehilangan kendali. Bayangannya memenuhi hidupku. 

Pada satu kesempatan lagi aku bertemu dengannya untuk tugas profesionalku. Dia membuang muka dan berpura-pura sibuk dengan orang lain. Ternyata, di sini aku berjumpa istrinya. Astaga... Perempuan itu, wanita yang sempurna. 

Aku ingin menghancurkannya, istri mantan kekasihku.

Kemudian mantan kekasihku menghilang tak dapat dihubungi. berulang kali aku mencoba menghubungi nomor ponselnya. Tidak berhasil. 
Aku menggunakan nomor temanku untuk menghubunginya kali ini. Dan berhasil. Aku meminta bertemu dengannya!

Ini bukan cinta (ataukah cinta?). Itu tidak penting!

Akhirnya aku memiliki sesuatu untuk hidupku yang membosankan. 
Aku punya target untuk dicapai, mantan kekasihku dan musuh untuk dihancurkan, istrinya.

Senang sekali sebelum akhir minggu aku akan bertemu kembali dengannya. 
Aku datang lebih dulu ke tempat yang telah dijanjikan. Aku bicara banyak sekali. 
Setelah mengatakan semua ini dia meraih tanganku.
Ia tersenyum, kemudian menikamku dengan belati: “Kita bukan lagi anak remaja. Kau wanita menyenangkan dan seperti yang kuketahui, memiliki keluarga menyenangkan. Apakah kau sudah mempertimbangkan untuk menemui penasihat perkawinan?”

Selama sesaat aku bingung, kemudian pergi tanpa air mata, tanpa menoleh sekali pun ke belakang.

Penolakannya membutaku menjadi orang yang lain. 
Aku benar-benar melakukan hal yang di luar batas nalarku. Aku membanjirinya dengan sms, yang tak pernah ia balas. Aku bahkan pergi mencari narkoba untuk menjebak istrinya. Dan aku benar-benar pergi ke kantor istrinya untuk menaruh narkoba itu di laci kerjanya. Tetapi tidak berhasil.

Mantan kekasihku akhirnya seperti bangkit dari kuburnya mengajakku minum kopi. 
Ia mengatakan bahwa ternyata ia merindukanku, tetapi tidak dapat menunjukkan cintanya padaku. 

Cinta? 

Setelah hari itu, pertemuan liar terjadi dan terjadi lagi . .


***

Selama terlibat perselingkuhan itu, sesungguhnya hatiku penuh tanya dan aku bergumul setiap saatnya. 
Aku tidak diam saja.
Aku membuka diri pada suamiku, bertemu dukun, psikiater, dan mencoba keluar dari kehampaan ini.

Sang dukun mengatakan:  “Lakukan saja dan lepaskan dirimu”. 
Jika orang yang menikah, demi entah alasan apapun memutuskan untuk mencari pasangan yang lain, ini tidak selalu berarti hubungan pasangan itu tidak berjalan dengan baik. Aku juga tak percaya seks adalah motif utama. 
Ini lebih karena perasaan bosan, karena lenyapnya gairah hidup. Karena ketiadaan tantangan. Ini campuran berbagai faktor.

“Dan mengapa hal itu terjadi?”

Karena, sejak kita menjauh dari Tuhan, kita hidup dalam eksistensi yang terpotong-potong...

Aku pun sampai pada kesimpulan: Laki-laki berselingkuh karena hal itu ada dalam kode genetik mereka. Seorang wanita berselingkuh karena dia tidak memiliki cukup martabat, ditambah jika dia menyerahkan tubuhnya, pada akhirnya dia selalu memberi sekerat hatinya.
Bagi kaum laki-laki ini hanyalah “kesalahan tolol”. 
Bagi kaum wanita, rasanya seperti kejahatan spiritual terhadap semua orang yang mengelilinginya dengan kasih sayang dan mendukungnya sebagai seorang ibu dan istri.


***

Namun, dari kasih suamikulah, aku memulai hidupku kembali.

“Ingin rasanya aku jatuh cinta lagi pada suamiku. Aku tidak pernah berhenti mencintainya - aku selalu mencintainya dan akan selamanya begitu - 
tetapi kehidupan kami bersama nyaris monoton. 

Cinta dapat bertahan menghadapinya, tetapi bagi nafsu, akibatnya fatal!

Siapa yang mengatakan “cinta saja cukup” itu dusta. 
Cinta tidak cukup dan tidak pernah cukup.
Cinta saja tidak cukup. Aku harus jatuh cinta pada suamiku.

Cinta bukan hanya perasaan; cinta adalah seni. Dan layaknya seni apa pun, cinta tidak hanya membutuhkan inspirasi, melainkan juga banyak kerja keras.

Aku mendapat kata - kata pencerahan yang diuraikan lewat bibir suamiku saat kami benar-benar saling bicara dari hati. 
“Kecemburuan memberitahu kita: “Kau dapat kehilangan semua yang kau capai dengan susah payah”. 

Kecemburuan membutakan kita terhadap semua hal lain, terhadap momen-momen yang kita alami dengan sukacita, terhadap saat-saat menyenangkan dan ikatan-ikatan yang tercipta pada kesempatan-kesempatan itu. 

Bagaimana mungkin kebencian dapat menghapus seluruh sejarah sebuah pasangan.

Mengejar impian ada harganya. Hal itu mungkin berarti meninggalkan kebiasaan- kebiasaan kita, mungkin mengharuskan kita mengalami kesengsaraan atau mungkin mengantar kita pada kekecewaan, dan sebagainya. 
Tetapi sebesar apa pun bayarannya, tak pernah semahal harga yang dibayar orang-orang yang berhenti hidup. 
Karena pada suatu hari mereka akan menoleh ke belakang dan mendengar hati mereka sendiri berkata: “Aku sudah menyia-nyiakan hidupku.”

Aku mengendalikan kecemburuan yang kurasakan karena dirimu, dan aku senang karenanya. Kau tahu mengapa? 
Karena aku selalu harus menunjukkan bahwa aku layak mendapatkan cintamu. 
Aku harus berjuang bagi perkawinan kita, bagi kesatuan kita, dalam cara-cara yang tidak ada hubungannya dengan anak-anak kita.
Aku mencintaimu. Aku akan menanggung apa pun, apa pun juga, untuk selalu memilikimu di sisiku. Tetapi aku tidak dapat menghentikanmu jika kau ingin meninggalkanku suatu hari nanti. 
Jadi jika hari itu tiba, kau bebas untuk pergi dan mencari kebahagiaanmu. Cintaku padamu lebih kuat daripada apa pun juga, dan aku tidak akan menahanmu dari menjadi bahagia”


***

Ketika kau saling mencintai, kau harus siap menghadapi apa pun.  

Karena cinta seperti kaleidoskop. Cinta selalu bergerak dan tak pernah mengulang dirinya. 

Cinta juga menginginkan hasil. Aku mencintaimu, tetapi sebagai balasannya aku menginginkan sesuatu yang konkret, bergandengan tangan, ciuman, seks panas, mimpi untuk dibagikan bersama, kesempatan untuk menjadi tua bersama-sama orang  yang kucintai, dst, dst,...
Kita membutuhkan tujuan yang sangat jelas dalam setiap langkah yang diberikan. Hidup bukanlah liburan panjang, melainkan proses pembelajaran yang terus menerus.


***


Aku adalah Linda, tokoh protagonis dalam novel Adulterio karya Paulo Coelho. 
Novel ini telah  dialihbahasakan oleh Rosi L. Simamora, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan judul SELINGKUH.

Membaca kisah Linda di buku setebal 315 halaman ini, tidak membutuhkan waktu lama bagiku. Bahasanya mengalir dan kekinian. 

Kutipan-kutipan di atas dapat menggambarkan betapa Linda berusaha keluar dari hidupnya yang monoton. Hanya karena kasihlah, melalui suaminya, ia dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan meneruskan hidup.

Dan, Paulo seperti biasanya selalu membawa hal-hal reflektif bagiku. 

Kisah Linda ini membuatku belajar bahwa cinta pada pasangan perlu selalu dibarukan gairahnya, supaya tidak perlu terjadi petualangan dengan orang lain. 

“Berpetualanglah” bersama pasanganmu saja! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar